Sabtu, 22 Juli 2017

PALANGKA RAYA PILIHAN IBUKOTA

PALANGKA RAYA
Bag 1
Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangka Raya mencuat belakangan ini. Ternyata, wacana tersebut sudah dikaji mahasiswa Jurusan Geologi UGM sejak 20 tahun lalu.
Ahli geologi dari UGM, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan secara kajian, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangka Raya memungkinkan untuk dilakukan. Salah satu pertimbangannya adalah melihat Palangka Raya dari segi ilmu geologi.
"Palangka Raya yang berada di Pulau Kalimantan merupakan daerah yang relatif aman jika ditinjau dari ilmu geologi. Palangka Raya relatif aman dari pusat gempa," ujarnya, Senin, 10 Juli 2017.
Dwikorita menjelaskan dari sudut kegunungapian, Palangka Raya dinilai juga jauh lebih aman karena di Pulau Kalimantan, gunung api relatif tidak seaktif di Pulau Jawa maupun pulau yang lainnya. Dengan begitu, ancaman erupsi maupun gempa tektonik sangat kecil.
Palangka Raya juga letaknya berada di tengah Pulau Kalimantan, sehingga jauh dari pantai dan ancaman tsunami," ujar Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan risiko bencana di Palangka Raya adalah banjir dan tanah longsor. Namun, hal itu bisa diminimalisasi dengan pembuatan zonasi potensi bencana.
"Nanti dimasukkan zonasi berwarna merah, sehingga daerah yang berpotensi banjir dan tanah longsor tidak dibuat bangunan untuk hunian publik, sehingga bisa diminimalisasi ancaman bencananya," tutur Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan bahwa perencanaan dan tata kota yang baik bisa direncanakan sejak awal, termasuk dari kajian geologi, sehingga pembangunan ibu kota di Palangka Raya bisa aman dari berbagai ancaman dan potensi bencana. Jika diabaikan, investasi mahal untuk membangun ibu kota bisa lenyap dalam hitungan detik.
"Tetapi harus juga dikaji secara sosial budaya dan sosial ekonomi. Kajian geologi dalam pemindahan ibu kota bukan satu-satunya kajian, tetapi kajian ini (geologi) tidak bisa ditinggalkan begitu saja," kata Dwikorita.
Bag 2
Cuaca hangat menyambut kedatangan kami di Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pagi itu.
Suasana bandara seketika sepi setelah satu per satu penumpang pesawat pergi meninggalkan lokasi. Belum ada lagi pesawat yang mendarat di bandara itu hingga kami memutuskan pergi meninggalkan lokasi satu jam kemudian.
Kami lantas menuju ke tempat penginapan di kawasan Jalan RTA Milono, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari bandara.
Sepi. Lagi-lagi kata itu yang terbesit selama melintasi rute menuju penginapan. Hanya ada beberapa kendaraan yang tidak terlalu sulit dihitung jumlahnya saat berpapasan.
Kota Palangka Raya relatif sepi jika dibandingkan dengan daerah-daerah di Pulau Jawa dan Sumatera. Meski begitu, pembangunan infrastruktur nya tak mau ketinggalan dengan daerah-daerah maju lainnya. Bahkan nyaris tak ditemukan jalan rusak dan berlubang. Semua jalanan beraspal mulus.
Nama Palangka Raya belum lama ini kembali disorot publik seiring bergulirnya wacana pemindahan ibu kota negara.
Palangka Raya menjadi satu dari beberapa daerah yang tengah dikaji sebagai lokasi pemindahan Ibu Kota negara dari Jakarta.
Palangka Raya Kota Pegawai
Kota yang baru genap berusia 60 tahun ini berpenduduk sekitar 376 ribu jiwa. Penduduk asli Kota Palangka Raya adalah Suku Dayak Ngaju. Namun tak sedikit penduduk Kota Palangka Raya merupakan pendatang yang berasal dari beragam suku, seperti Banjar, Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan Bali.
Palangka Raya merupakan kota terluas di Indonesia. Memiliki luas wilayah mencapai 2.400 kilometer persegi atau setara 3,6 kali luas Jakarta. Namun hampir tak ada penduduknya yang menggantungkan hidup dengan bercocok tanam atau nelayan. Mayoritas penduduk Palangka Raya bekerja sebagai pegawai.
"Umumnya di Kota Palangka Raya itu beraktivitas sebagai PNS, pegawai swasta, buruh harian, ada juga yang di pertambangan, ada yang bekerja di daerah lain tapi tinggalnya di sini," ujar Mambang Tubil, Ketua Harian Dewan Adat Dayak Palangka Raya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat 21 Juli 2017.
Maka tak heran jika suasana di sebagian Kota Palangka Raya terlihat relatif sepi. Keramaian hanya terlihat di kawasan jantung kota, atau sekitar Jalan Imam Bonjol, Jalan Tjilik Riwut, dan Jalan A Yani.
Namun demikian, Anda tak perlu khawatir mati gaya saat berkunjung ke Palangka Raya. Sebab, minimarket, kafe, dan restoran cepat saji mulai menjamur di kota yang lahir pada 17 Juli 1957 ini. Beragam kuliner Nusantara juga tak sulit ditemukan.
Pertumbuhan yang cukup pesat ini tak lepas dari peran Bung Karno, sebagai peletak batu pertama pembangunan Kota Palangka Raya. Saat itu pula, Presiden pertama RI tersebut memiliki cita-cita menjadikan Palangka Raya sebagai ibu kota negara di masa mendatang.
"Kalau orang tahu sejarah Palangka Raya, dari hutan belantara menjadi kota," kata Mambang. ( Liputan6 )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar